Oleh: Arif Afandi
Selasa 24-01-2023,04:45 WIB
SUDAHLAH, yang muda pasti lebih baik. Itu yang menjadi keyakinan saya sejak dulu. Karena itu, yang tua sudah saatnya memberikan ruang gerak bagi mereka. Bukan saatnya yang tua merasa menjadi pemilik otoritas kebenaran.
Lihatlah geliat di Sidoarjo. Kabupaten yang berbatasan dengan Surabaya, ibu kota Provinsi Jawa Timur. Yang selama ini hanya menjadi daerah penyangga ibu kota di provinsi Jawa paling timur itu.
Dulu kabupaten tersebut menggeliat. Banyak inovasi muncul dari kabupaten itu. Bahkan, saat saya mengelola Otonomi Award tahunan, Sidoarjo menjadi langganan juara. Mengalahkan Surabaya.
Sayang, prestasi itu mandek untuk beberapa lama. Yang muncul banyak berita banjir, jalan rusak dan berlubang, bencana lumpur Lapindo, dan sebagainya. Sangat kurang berita positif bertebaran.
Sampai kemudian terpilih seorang bupati muda usia. Ahmad Muhdlor Ali. Putra kiai besar, KH Agoes Ali Mashuri. Pendiri dan pimpinan Pondok Pesantren Bumi Shalawat. Kiai yang sangat disegani di mana-mana.
Semula saya khawatir. Mampukah semuda itu, Gus Muhdlor –demikian ia biasa dipanggil– meningkatkan kemampuan teknokratis sekaligus politiknya? Yang pasti, ia sudah punya ilmu sebagai alumnus mahasiswa FISIP Unair.
Yang pasti, sejak kecil ia bersentuhan dengan dunia politik. Sebagai putra kiai besar, ia pasti bersinggungan dengan para tokoh nasional maupun lokal yang menjadi santri ayahnya. Atau bersentuhan dengan tokoh-tokoh yang berkunjung ke pesantrennya.
Apalagi, kakaknya juga seorang politikus PKB. Anggota DPR RI. Namanya Gus Syaikhul Islam. Bertugas di berbagai komisi. Ia tentu bisa menjadi mentor politik adiknya sekaligus menjadi penghubung dengan pemerintah pusat. Bisa menjadi penarik program pusat ke Sidoarjo yang dipimpin adiknya.
Pasti selama usia perkembangannya, Gus Muhdlor juga aktif berorganisasi. Baik di lembaga-lembaga pengaderan NU maupun lainnya. Pesantren Bumi Sholawat sendiri adalah lembaga yang sangat layak untuk menggembleng kompetensi politis dan teknokratis.
Menurut saya, keberhasilan seorang pemimpin daerah sangat bergantung pada dua hal tersebut. Kuat hanya dalam satu sisi saja biasanya tidak cukup. Kecuali ia punya power politik yang besar sehingga mampu menggerakkan dan mengendalikan birokrasi penopangnya.
Mengendalikan birokrasi bukan soal gampang. Mereka memiliki rezimnya sendiri. Mereka punya kultur sendiri. Mereka punya berbagai pengalaman dipimpin kepala daerah dengan berbagai latar belakang. Karena itu, sering punya kompetensi melebihi yang memimpinnya.
Tapi, tak akan ada loyalitas tunggal dari birokrat. Tak ada loyalitas permanen terhadap kepala daerahnya. Mereka akan loyal kepada yang sedang berkuasa. Loyal kepada karier birokratnya. Hanya dengan power politik besar, biasanya kepala daerah bisa segera memobilisasi birokratnya sesuai dengan misinya.
Saya lihat Gus Muhdlor cukup gercep dalam hal ini. Ada banyak program infrastruktur yang sudah bisa dijalankan. Yang tidak jelas nasibnya pada periode kepemimpinan sebelumnya. Juga, banyak program baru yang sudah dirilisnya. Yang kelak akan mengubah wajah Sidoarjo.
Banyak kepala daerah yang programnya tak lekas nendang karena tak segera bisa mengendalikan birokratnya. Bukan karena kompetensi politiknya. Tapi, karena tak didukung kompetensi teknokratisnya. Sehingga, eksekusi keputusan politiknya sangat bergantung pada birokrat yang menjalankan.
Saya tidak tahu mana yang lebih menonjol dari Gus Muhdlor dalam memimpin Sidoarjo. Tapi, setidaknya ia tergolong bupati muda yang suka blusukan. Ia terlihat sering terjun ke lapangan untuk memastikan jalannya program di lapangan. Bahkan, tampak ia bisa mengomentari hal-hal teknis ketika terjun di lapangan.
Ia bisa luwes ketika menghadapi orang biasa. Ia bisa tampak akrab dengan warganya. Namun, ia bisa segera memberikan solusi ketika ada persoalan yang dihadapi di lapangan. Basis sosial sebagai putra kiai besar dan kompetensi pribadinya sangat memberikan harapan bagi transformasi Sidoarjo ke depan.
Hasilnya sudah mulai bisa dirasakan. Ada kerja konkret yang sudah dikerjakan. Dalam masa jabatannya yang baru berjalan dua tahun. Masih cukup waktu untuk terus melahirkan legasi fisik yang bisa dirasakan dan dikenang rakyatnya.
Saya yang bukan orang Sidoarjo merasakan bahwa di daerah itu negara mulai hadir. Ada pembangunan infrastruktur di mana-mana. Bundaran Aloha yang dulu pusat keruwetan mulai digarap. Frontage road Sidoarjo sudah dimulai.
Pekan lalu saya menyusuri jalan utama Krian–Mojosari. Tampak ada pembangunan jalan flyover di sana. Sepanjang jalan itu juga tampak tumbuh dan ramai. Pasti banyak yang berharap kehadiran bupati muda itu memberikan makna lebih.
Sejak dulu Sidoarjo bisa membuat lompatan besar. Bertransformasi dari kota limpahan Surabaya menjadi kota pendukung utama Kota Surabaya. Seperti kota pinggiran Chicago, Amerika Serikat, yang menjadi kota baru yang dihuni para orang kaya baru di sana.
Di tahun 2.000-an, dibangun kawasan properti di subkota Chicago. Di dekat pusat pengembangan teknologi dan informasi di sana. Properti itu berkembang pesat. Isinya para crazy rich, orang kaya baru. Para pekerja IT dan industri digital.
Kawasan suburban penopang kota Chicago itu menjadi kawasan mahal. Meski, setelah disurvei, ternyata para penghuninya tidak puas karena semua orang kaya. Seperti tumbuhnya kawasan Delta Sari antara Surabaya dan Sidoarjo.
Survei itu kemudian merekomendasikan perusahaan propertinya membangun kawasan pekerja tak kaya. Jadi, kalau AC rusak, mesin cuci rusak, dan ledingnya rusak, tidak susah mencari tukangnya. Saya pernah di kawasan tersebut, saat itu.
Sidoarjo bisa menjadi kawasan penopang seperti kawasan suburban di barat Chocago tersebut. Tinggal memperlancar dan memperbaiki akses para komuter. Melebarkan jalan-jalan ke dan dari Kota Surabaya. Apalagi, didukung jaringan transportasi publik yang bagus.
Tapi, untuk yang disebut terakhir itu, tak cukup hanya inisiatif Gus Muhdlor. Alangkah asyiknya kalau transportasi publik untuk para komuter itu langsung ditangani Pemprov Jatim. Biar bisa menjadi legasi yang tak terlupakan dari Gubernur Khofifah Indar Parawansa.
Atau menjadi program bersama wali kota Surabaya, bupati Sidaorjo, dan bupati Gresik yang sama-sama muda. Kolaborasi ketiganya pasti bisa ”memaksa” pusat untuk mewujudkan jaringan transportasi publik untuk komuter yang terintegrasi.
Tapi, tampaknya, perlu juga Gus Muhdlor melakukan penghijauan di sepanjang jalan nasional yang masuk Sidoarjo. Biar mengubah wajah kering menjadi lebih sejuk. Cara cepat untuk menciptakan perubahan. Seperti Tri Rismaharini yang melakukan tamanisasi.
Tidak perlu seluruhnya. Dimulai dari jalan-jalan utama masuk ke Sidoarjo. Jalan masuk perbatasan dengan Mojokerto, Pasuruan, Gresik, dan Surabaya. Kalau perlu, gerakkan semangat gotong royong menghijaukan Sidoarjo. Dengan menggandeng ratusan perusahaan yang ada.
Kalau saja 25 tahun lalu saya tahu akan ada bupati seperti Gus Muhdlor, barangkali saya tak akan memaksa harus berumah di Surabaya. Tapi, kalau saat itu saya memutuskan tinggal di Sidoarjo, barangkali saya tak akan berpengalaman menjadi wakil wali kota Surabaya, hahaha…
Btw, jalan terus, Gus. Biar warga Sidoarjo dan sekitarnya mempunyai harapan baru tentang masa depan daerahnya. Masak akan terus menjadi kelas dua. Tak ada salahnya punya mimpi mengalahkan Surabaya.
Sumber :
https://harian.disway.id/read/680391/transformasi-sidoarjo/30